SURAT DARI SEHELAI DAUN
tiba saatnya aku rebah di hempasan pohon pinus dan mulai membaca surat-surat yang tertulis pada daun seperti membaca halaman-halaman buku tentang tanah. dari daun-daun ini aku tahu bahwa tanah yang lima tahun lalu kita lewati bersama iringan gembira anak-anak yang memainkan layang-layang, telah menjadi sebuah tempat yang kehilangan senyum mereka. bahwa rerumput hijau yang selalu basah di pagi hari, kini menjadi seonggokan aspal dan debu yang selalu akan menutupi kegembiraan yang tersisa. dari daun-daun ini aku tahu ibu bapak kita telah terusir karena rumahnya dimakan tanah dan berubah menjadi bangunan tinggi yang tak terjangkau oleh kacamata mereka sebagai orang-orang dari desa tertinggal. dan kubayangkan mereka mencari-cari sisa kegembiraan di sudut-sudut kota yang tak terjamah fasilitas dan teknologi. sepanjang hari terus berlindung dari debu dan asap sambil mengingkari kebodohan yang menelantarkannya dari dunia.
aku ingin menangis, tapi daun-daun ini terus berjatuhan menyampaikan helai demi helai kalimat yang menceritakan suatu evolusi masal dari demokrasi kita ini. segala hal tentang kalimat masa lalu hanya tercatat dalam pikiran kita yang tak bisa mereplika globalisasi hidup yang terjadi. kita sekarang hanya akan menulis tentang kegembiraan di masa lalu itu, karena kita seakan tak bisa menemukan ayat kegembiraan di antara demokrasi yang
Mei, 2004
0 Responses to “surat dari sehelai daun …”