Kadang orang suka bertanya, “Bagaimana sih puisi yang bagus itu?” Saya pun pernah menanyakannya kepada seseorang yang memang sudah biasa menulis puisi, tepatnya pertanyaan saya seperti ini, “Seperti apa sih puisi yang layak disebut puisi?” Lalu apa jawabannya. Singkat. “Yang enak saja untuk dibaca.”
Puisi memang macam-macam jenisnya. Ada yang bahasanya ngejelimet, abstrak, gelap, diksi-diksinya susah dimengerti. Ada yang justru bahasanya simple, seperti bercerita, tapi menarik. Ada pula yang hanya berupa permainan kata, permainan bunyi, dan masih banyak lagi. Lalu di antara semua jenis puisi itu, mana yang dikategorikan bagus? Jawabannya, “Saya tidak tahu.”
Setiap jenis puisi itu memiliki kekuatan masing-masing. Satu puisi mungkin jadi menarik karena susah dimengerti, puisi lain mungkin justru disukai karena jelas dan enak dibaca, puisi lain lagi mungkin disukai karena apa yang dibahas sesuai dengan yang dialami pembaca, puisi lain lagi mungkin disukai karena ditulis oleh orang yang disukai pembaca.
Puisi itu seperti halnya sebuah lagu. Seperti apa sih sebuah lagu yang bagus itu? Sejauh yang saya amati saja, orang-orang bisa menyukai sebuah lagu karena hal-hal berikut:
– penyanyinya
– isi/kisah lagunya
– liriknya
– musiknya
– reff-nya
– video klipnya
Mungkin masih ada hal-hal lainnya. Tapi saya batasi enam hal itu dulu. Coba sekarang kalian pikirkan, di antara enam hal itu, mana yang paling mempengaruhi kalian dalam menyukai sebuah lagu? Kalau saya mungkin memilih “reff”. Kenapa? Buat saya yang namanya lagu itu harus enak didengar. Liriknya mau puitis ataupun biasa ya terserah. Kisahnya mau sesuai dengan yang saya alami ataupun tidak ya terserah juga. Tapi kalo soal “reff”, harus benar-benar “enak” di telinga saya. Mungkin intro dan bagian awalnya tidak perlu terlalu enak, itu tidak apa-apa. Tapi ketika “reff”-nya enak, kena githu istilahnya, maka lagu itu saya bilang enjoyable.
Sama halnya dengan puisi. Tidak perlu semua bagian dari puisi itu “srek” di hati pembaca, tapi bagian “reff” atau “klimaks” sebisa mungkin harus memikat. Mau itu sedih, senang, kecewa, atau apapun harus diusahakan membuat pembaca terbawa suasana. Kira-kira begitulah. Kalau soal bahasa, pemilihan diksi, isi puisi, pesan, dan siapa yang menulisnya, itu menjadi nilai lebih, tapi tidak sakral. Memang akan jauh lebih baik jika semuanya juga baik, tapi ya itu kan sulit. Jadi, optimalkan lah salah satu atau beberapa saja. Cari titik-titik di mana pembaca bisa “jatuh cinta” dengan puisi kita. Oke, terima kasih sudah membaca sampai selesai …. 🙂
Komen-komen …